Wednesday, March 25, 2009

iNews dan E-book Selamatkan Koran?


Surutnya era surat kabar di berbagai penjuru dunia telah banyak diwacanakan, antara lain ditandai oleh surutnya pendapatan iklan dan jumlah pelanggan, lebih-lebih dari kalangan muda. Tak bisa disangkal lagi bahwa generasi muda yang juga dikenal sebagai Generasi Digital atau Generation C lebih menyukai peralatan (gadget) untuk mendapatkan informasi.

Menghadapi era transisi atau era baru ini, berbagai pendapat masih saling adu kuat, antara yang masih percaya akan kelangsungan hidup surat kabar dan yang yakin bahwa media yang pernah sangat berpengaruh ini satu hari nanti akan punah.

Hari-hari ini, tokoh besar media seperti Rupert Murdoch berada dalam kebimbangan besar. Sesaat sebelum resesi marak, Murdoch membeli Dow Jones yang menerbitkan koran The Wall Street Journal senilai 5 miliar dollar AS (sekitar Rp 60 triliun). Itu karena Murdoch dikenal sebagai sosok yang punya kelekatan kuat terhadap surat kabar (meski ia juga diakui sebagai mogul multimedia abad ke-21). Tetapi, kini ketika surat kabar mengalami kemunduran paling buruk semenjak Depresi (Besar tahun 1930-an), analis media di Miller Tabak, David Joyce, sempat mendengar dari para investor bahwa News Corp (konglomerasi media milik Murdoch) boleh apa saja, kecuali koran (IHT, 24/2).

Tantangan terhadap media cetak memang sungguh hebat. Orang membandingkan, mengapa media ini tak setahan TV, misalnya. Bahkan, ketika orang sudah banyak menghabiskan waktu di depan layar internet, atau juga di layar video, tidak sedikit pula yang masih terus bertahan di depan layar TV. Sayangnya, dalam pertempuran di antara layar-layar tersebut, media cetak tertinggal di belakang (Print media losing in a world of screens, IHT, 9/2).

Berbagai ide dan upaya telah dilontarkan untuk menyelamatkan surat kabar. Satu problem yang disadari ketika surat kabar masih diharapkan terus menjadi sumber keuntungan adalah bahwa akan ada kesulitan yang melilit. Penjelasan ini bahkan muncul ketika versi online koran sangat berpengaruh seperti The New York Times sudah amat maju, dengan pengakses unik 20 juta. Penyebabnya adalah penghasilan dari online hanya mampu mendukung 20 persen kebutuhan stafnya.

Menghadapi defisit ini, diusulkan ada pengerahan dana abadi (endowment) bagi institusi media cetak sehingga mereka terbebaskan dari kekakuan model bisnis, dan dengan itu media cetak tetap punya tempat permanen di masyarakat sebagaimana kolese dan universitas. (Lihat pandangan David Swensen, Chief Investment Officer di Yale, dan Michael Schmidt, seorang analis finansial, di IHT, 31/1-1/2.)

Dukungan teknologi

Sebelum ini, salah satu pemikiran yang banyak dikemukakan untuk meloloskan media cetak dari kepungan media baru adalah dengan bergerak ke arah multimedia sehingga berita tidak saja disalurkan untuk koran, tetapi juga untuk media lain, dari radio, TV, hingga internet dan mobile/seluler. Ini selaras dengan realitas baru, di mana pencari berita memang dari kalangan pengguna media noncetak dan media baru. Paham pun beranjak dari pembaca (readership) ke audiens. (Ini pada satu sisi juga akan membebaskan pengelola surat kabar dari tekanan meningkatkan oplah yang semakin sulit.)

Dalam kaitan ini pula muncul sejumlah inisiatif yang diharapkan mampu mempertahankan eksistensi surat kabar. Dua di antara inisiatif teknologi yang dimajukan untuk berkembang, dan seiring dengan itu bisa membantu surat kabar, adalah iNews (berita melalui perangkat internet) dan e-book (buku elektronik).

iNews

Sebelum ini, salah satu model bisnis untuk mengangkat industri musik adalah melalui apa yang dilakukan Apple dengan toko musik online-nya yang terkenal, iTunes, yang tahun lalu menjual 2,4 miliar track (lagu).

Yang disediakan oleh Apple kemarin ini adalah antarmuka pengguna yang mudah digunakan dan kerja sama luas dengan perusahaan musik. Dengan itu, petinggi Apple, Steve Jobs, bisa membantu bisnis (industri musik) yang nyaris ambruk akibat maraknya aktivitas bertukar lagu (file sharing). Memang dengan itu Apple dituduh mengerdilkan merek besar. Tetapi, itu tetap ada baiknya karena toh perusahaan musik yang dikerdilkan tadi masih tetap hidup sampai kini.

Pengelola bisnis surat kabar pun bisa waswas bahwa Apple bisa melakukan hal yang sama terhadap mereka. Caranya juga sama, meyakinkan jutaan pembaca yang tertarik, yang selama ini mendapatkan berita secara gratis melalui situs surat kabar—seperti kompas.com—untuk membayar.

Pilihan ini memang tampak lebih ditujukan untuk menyelamatkan institusi pers karena manakala pendapatan merosot, yang terancam bukan hanya perusahaan yang memiliki koran, tetapi juga berita yang dihasilkannya (David Carr, Could an iNews rescue papers?, IHT, 13/1)

Ide mencari bantuan juga dilakukan sejumlah media lain karena jelas ”gratis bukan sebuah model (bisnis)”. Cook’s Illustrated yang punya resep segudang dilanggan oleh 900.000 orang dan ecerannya mencapai 100.000. Selain itu, perusahaan ini punya 260.000 pelanggan online yang membayar 35 dollar AS per tahun. Pertumbuhannya mencapai 30 persen tahun 2008.

Di luar itu, tetap harus diakui, paham gratis masih dominan di dunia maya. Yang piawai tentu Apple, yang bisa membujuk pembeli gadget-nya untuk mau membayar musik yang dibeli. Jobs melihat musik sebagai bisnis perangkat lunak untuk memacu penjualan iPod dan iPhone. Bisnis musik tidak sepenuhnya senang dengan itu, tapi terbukti bisa membujuk pendengar membayar isi (lagu) untuk perangkatnya.

Dengan alam pikir ini pula dipikirkan gadget yang juga bisa diterapkan untuk koran. Misalnya iPod touch yang akan diluncurkan musim gugur tahun ini, dengan ukuran layar 18 sampai 23 cm.

Untuk e-book ada strategi lain. Amazon, yang sebelum ini telah membuat alat pembaca buku elektronik bernama Kindle, belum lama ini mengatakan bahwa selain dengan Kindle, buku elektronik juga akan bisa dibaca dengan smart-phone. Plastic Logic, pembuat alat e-reader lain, kini juga telah membuat persetujuan dengan sejumlah majalah dan surat kabar (The Economist, 14-20/2).

Skenario serupa seperti diuraikan di atas untuk iNews—yakni dengan pembundelan pemasaran antara alat dan isi (content) diharapkan bisa diterapkan—untuk alat-alat pembaca e-book ini. Dengan itu, meski koran dalam wujud tradisionalnya surut, lembaganya diharapkan bisa tetap lestari.

penulis:NINOK LEKSONO

Sunday, March 22, 2009

Membongkar Mitos Perempuan


Alkisah, empat perempuan tua sedang berdebat, bagaimana sebaiknya istri menempatkan suami? ”Istri itu harus manut sama suami,” ujar salah seorang perempuan. ”Tidak,” kata yang lain, ”suami itu harus disanding, dijinjing, dan kalau perlu ditanting."

Saat asyik ngobrol, keempatnya tiba-tiba sadar. Ternyata, para suami mereka justru sedang dikuasai perempuan muda ayu bernama Geyong Kanthil. Mereka pun segera berkomplot untuk menaklukkannya.

Itu salah satu potongan adegan pentas ”Gathik Glindhing” di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat-Sabtu, 20-21 Maret 2009. Lakon dimainkan Sahita, kelompok teater-tari asal Surakarta beranggotakan lima perempuan: Wahyu Widayati, Sri Lestari, Sri Setyoasih, Atik Kenconosari, dan Ira Kusumorasri.

Apakah keempat perempuan tua itu menang? Ternyata tidak. Dengan kecantikannya, perempuan muda berhasil menyingkirkan generasi tua. Adegan terakhir, si Geyong merokok dengan asap mengepul, sedangkan orang-orang tua itu terkapar di sekelilingnya.

”Itu sindiran, betapa nafsu kekuasaan bisa merusak kebersamaan. Itu harus dihindari,” kata Wahyu Widayati, sutradara dan koreografer Sahita yang biasa disapa Inonk.

Pentas Sahita digelar untuk menyambut Hari Perempuan Sedunia 8 Maret serta Hari Kartini 21 April. Maklum, kelompok yang berdiri tahun 2001 itu memang lekat dengan perempuan. Dalam setiap pentas, bangunan cerita cenderung hanya jadi sampiran untuk menggali berbagai persoalan perempuan secara kritis-menghibur. Lakon ini pun merangkum fragmen-fragmen problem perempuan saat berhadapan dengan laki-laki.

Pada lakon kali ini, Sahita tampak hendak berubah. Mereka memasukkan wacana pemberdayaan perempuan sembari mengulik isu-isu politik aktual. Tutur kata Jawa dicampur bahasa Indonesia, juga menyelipkan puisi lirih Gunawan Maryanto. Sayang, pergeseran itu belum tergarap optimal sehingga sebagian bangunan pertunjukan malah mengendur.

Itu berbeda dengan lakon-lakon sebelumnya, katakanlah seperti ”Iber-iber Tledhek Barangan”, ”Srimpi Srimpet”, atau ”Pangkur Brujul”. Lakon-lakon lama itu memperlihatkan ekspresi penari-perempuan Jawa yang kampungan, urakan, segar, dan enteng mengutak-atik segala hal. Seluruh tontonan terajut cair lewat permainan bahasa Jawa yang asyik.

Membongkar

Dengan segala kekurangannya, Sahita–yang berarti ’kebersamaan’—tetap kukuh sebagai kelompok teater perempuan. Penampilannya masih identik dengan perlawanan terhadap dominasi laki-laki, termasuk citra kecantikan. Mereka menolak konvensi perempuan penari harus tampil cantik, seksi, dan molek. Itu terlihat dari usia mereka yang rata-rata di atas 40 tahun dengan bentuk tubuh yang mulai membesar.

”Kami ini ibu rumah tangga, wis elek lan tuwa (sudah jelek dan tua), kecuali Sri Lestari atau Cempluk yang baru 30-an,” ujar Inonk.

Pada pentas ”Gathik Glindhing”, kelompok ini juga menggunakan identitas orang desa dengan dandanan khas kelas bawah—kecuali Ira Kusumorasri, pemeran si Geyong Kanthil yang masih langsing dan ayu. Bagi mereka, patriarki adalah kekuatan dominasi atas dasar relasi kuasa yang tidak seimbang, entah antara laki-laki dan perempuan maupun antarperempuan, yang berbeda kelas dan usia.

Saat menari, mereka bebas bergoyang erotik ala ledek atau komikal seraya memelesetkan pakem tari gambyong-gleyongan, tayub, atau banyumasan. Bahasanya tak jarang vulgar, bahkan mengolok-olok simbol seksualitas—sesuatu yang mungkin berada di luar gambaran para pembela Undang-Undang Antipornografi.

Meski Inonk mengatakan Sahita hanya ingin ”membumikan tari Jawa”, jelas sekali kelompok ini telah membalik mitos perempuan yang lingkupnya cuma sumur, dapur, dan tempat tidur. Pentas mereka mencerminkan bangunan imajinasi alternatif stereotip jender.

Di panggung, menurut anggota Sahita, Sri Setyoasih, mereka menemukan ruang berekspresi atas dasar pengalaman perempuan. Dengan pengalaman teatrikal itu, mereka menciptakan ruang untuk merayakan kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih berani dan jujur.

sumber: kompas cetak (22/03/09)

Membaca Bangun Peradaban

Kemajuan suatu bangsa ikut ditentukan oleh literasi masyarakatnya. "Kemajuan peradaban di Bagdad dan Andalusia dimulai dari membaca," ujar Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Prof Azyumardi Azra dalam orientasi kepada Taman Bacaan Masyarakat dari 33 provinsi di Surabaya, akhir pekan lalu.

Membaca dalam artian tidak sekadar membaca melainkan disertai penggalian lebih lanjut serta reko nstruksi keilmuan dari akumulasi berbagai pengetahuan. Peradaban tidak bisa dibangun tanpa budaya baca, walaupun budaya baca bukan satu-satunya penentu peradaban suatu bangsa.

Dia melihat masyarakat Indonesia sekarang cenderung berpikir secara instan. Dalam konteks pendidikan, rumah atau keluarga sebagai tempat pendidikan pertama belum menjadi house of education melainkan house of entertainment. Padahal, dari rumahlah kebiasaan membaca pertama kali ditumbuhkan.

"Dalam konteks pembangunan peradaban, taman bacaan dapat berperan. Di taman bacaan yang terkelola baik akan muncul kelompok pencinta buku dan diharapkan dapat dibangun kelompok diskusi sehingga kemudian terjadi tukar menukar informasi dan buku serta disertai diskusi. Membaca, diskusi dan menulis, jika dibangun terus menerus ilmu dan p engetahuan akan terus terbangun," ujarnya.

sumber: kompas cetak (22/03/09)

Tuesday, March 17, 2009

Ribuan Puskesmas di Daerah Terpencil Tak Ada Dokter


Pelayanan kesehatan di daerah terpencil, daerah perbatasan, dan pulau-pulau terluar sulit dilakukan pemerintah. Dalam kondisi demikian, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan yayasan keagamaan di sejumlah daerah, diam-diam memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat. Namun demikian, masih banyak daerah terpencil yang puskesmasnya dibangun, dokter tidak ada. Ribuan puskesmas tidak memiliki tenaga dokter.

Pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan, perlu dan penting membuat grand design tentang pelayanan kesehatan di daerah terpencil, daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar. Saatnya sekarang dilakukan survey kebutuhan berdasarkan keunikan masing-masing daerah.
Demikian antara lain benang merah yang mengemuka pada seminar Peranan LSM dan Yayasan Keagamaan dalam Pelayanan Kesehatan di Daerah Terpencil, yang digelar Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (17 /3) di Jakarta.

Tampil sebagai narasumber dr Dasdo Antonius Sinaga dari Yakkum Emergency Unit; Elvi S Siahaan dari MAP International; dr Dwi Handono S Mkes dari Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan FK UGM; Prof dr Laksono Trisnantoro MSc PhD, Direktur Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan FK UGM, dan drg Kartini Rustandi MKes dari Subdit Daerah Tertinggal, Perbatasan, dan Kepulauan Direktorat Bina Kesehatan Komunitas, Depkes.
Dasdo Antonius Sinaga mengungkapkan pengalamannya memberikan pelayanan yang memuaskan bagi semua pihak di Kecamatan Gunung Sitoli, Sirombu, dan Kecamatan Lahewa, di Nias, Provinsi Sumatera Utara.

"Masyarakat mengalami kesulitan pelayanan kesehatan di puskesmas, karena keberadaan dokter umum hanya ada satu atau dua orang per kecamatan. Dokter gigi tidak ada, dan banyak persoalan lain seperti infrastruktur, ketersediaan obat (jenis dan jumlah) dan insentif," katanya.
Yakkum Emergency Unit memberikan pelayanan di Nias pascagempa dan tsunami tahun 2004. Visi yang diusung, jelas Dasdo, adalah bagaimana masyarakat yang terkena dampak bencana mendapatkan hak untuk hidup bermartabat dan berkesinambungan.

Elvi S Siahaan dari Nias melalui pembicaraan telepon mengatakan, MAP International sejak 2005 sampai sekarang memberikan pelayanan kesehatan di 15 desa di pulau Batu, Tello dan pulau-pulau sekitarnya di Nias Selatan. MAP Internastional sampai membangun Rumah Sakit Tello yang diserahkanterimakan tahun 2008. Sedangkan untuk menjangkau daerah-daerah terjauh antarpulau, perjalanan 3-6 jam, ada kapal Tello Mobile Clinic.

"MAP International sudah berkomitmen bantu puskesmas, karena kondisinya di Nias, sumberdaya manusianya terbatas dan terkendala transportasi," katanya.
Elvi menjelaskan, karena faktor kemiskinan dan terbatasnya kemampuan finansial masyarakat, selama ini si sakit baru dibawa berobat setelah pasien dalam kondisi sangat buruk. Naik kapal saja Rp 100 ribu per orang, belum lagi harus bayar penginapan, dan kebutuhan lainnya. Untuk memberikan pelayanan kesehatan dan sekaligus meringankan beban masyarakat, MAP memiliki Tello Mobile Clinic.

Sedangkan Dwi Handono memaparkan pengalaman gagalnya mencari kontraktor pelayanan kesehatan di daerah terpencil di Kabupaten Berau. "Karena tidak adanya kontraktror yang memenuhi syarat untuk pengadaan SDM dan penyelenggaraan pelayanan, dan pengadaan sarana dan prasarana, anggaran APBD tahun 2008 senilai Rp 970 juta tidak jadi terpakai," ungkapnya.

Tidak Adil

Laksono Trisnantoro menjelaskan, digelarnya seminar karena ada fakta dan data yang menarik yang harus dicarikan jawabannya. Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan di daerah terpencil sulit dilakukan oleh pemerintah. Kontrak bidan dan dokter perorangan belum dapat memberikan jawaban tentang penyelesaian masalah daerah terpencil ini.

Laporan dari Pusrengun (Anna Kurniati, 2007) menyebutkan, 30 persen dari 7.500 puskesmas di daerah terpencil tidak mempunyai tenaga dokter. Survey yang dilakukan Pusrengun di 78 kabupaten di 17 provinsi di indonesia menemukan hal menarik.

Dari 1.165 puskesmas di daerah tersebut, 364 puskesmas (31 persen) buruk situasinya. Sekitar 50 persen dari 364 puskesmas dilaporkan tidak mempunyai dokter, 18 persen tanpa perawat, 12 persen tanpa bidan, 42 persen tanpa tenaga sanitarian, dan 64 persen tanpa tenaga ahli gizi.
Dibandingkan dengan daerah biasa, gambaran ini sangat buruk. Sebagai contoh, di daerah biasa hanya 5 persen puskesmas tanpa dokter. Dalam hal tenaga spesialis juga terlihat ketimpangan. Menurut data KKI (2007), DKI Jakarta mempunyai 2.890 spesialis ( 23,92 persen), Jawa Timur 1.980 spesialis (16,39 persen), Jawa Barat 1.881 (15,57 persen). Sementara itu di Sumatera Barat hanya 167 spesialis (1,38 persen), paparnya.

Menurut Laksono, ketidaktersediaan tenaga medik dan kesehatan ini menjadi semakin berat implikasinya karena adanya Jaminan Kesehatan Masyarakat. Ketimpangan penyebaran spesialis ini merupakan hal yang tidak adil, terutama dalam kontek s kebijakan nasional yang menggunakan pembayaran penuh untuk masyarakat miskin.

Di daerah yang jarang dokter spesialisnya, masyarakat miskin atau setengah miskin akan kesulitan mendapatkan akses ke pelayanan medik. Sebaliknya di tempat yang banyak dokternya, akan sangat mudah. Akibatnya dana pusat untuk masyarakat miskin dikhawatirkan terpakai lebih banyak di kota-kota besar dan di pulau Jawa.

Kartini Rustandi dalam paparannya menuju indonesia Sehat 2010, mengakui adanya kesenjangan pelayanan kesehatan antarwilayah, khususnya di daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan. Ke depan akan ditingkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, karena status kesehatan masyarakat masih rendah. Diusahakan setiap desa ada SDM yang berkompeten. Setiap puskesmas bisa terjangkau dan dijangkau masyarakat, katanya.
Sumber : Kompas (17/03/2009)








Sunday, March 15, 2009

Dunia "Tersihir" Facebook

Demam facebook sedang melanda. Orang seperti keranjingan berbagi informasi, rasa, canda, tawa, hasrat, ekspresi, dan impian lewat jaring sosial di dunia maya ini. Bahwa di dunia nyata sehari-sehari mereka tidak saling menyapa, itu persoalan lain. Beginilah cara paling modern generasi sekarang memelihara relasi sosial dan kekerabatannya.

Tengoklah situs apa yang sedang dibuka teman atau kerabat Anda? Boleh jadi, jawabannya facebook (fb). Ya, situs jaringan sosial di internet ini, sekarang, sedang amat populer. Anak sekolah, mahasiswa, karyawan, hingga ibu rumah tangga terutama di kota-kota besar menggunakan facebook.

Tidak hanya menggunakan, sebagian orang bahkan sudah dalam tahap keranjingan fb. Salah satunya adalah Priscilla F Carlita, karyawan swasta. Sejak bangun tidur, gadis cantik ini langsung membuka fb. Ketika tiba di kantor, dia membuka lagi fb-nya hingga waktu pulang kantor tiba. Sambil bekerja, sesekali dia melirik pesan dan komentar baru yang masuk lewat fb.

Sesampai di rumah, Priscilla kembali membuka situs itu sekadar untuk mengintip aktivitas sebagian dari 1.600 lebih teman di situs itu. ”Rasanya, ada yang kurang kalau enggak membuka fb. Gue bisa kehilangan informasi mengenai teman-teman,” kata Priscilla, yang bergabung dengan situs itu sejak enam bulan lalu.

Daya tarik

Apa sebenarnya daya tarik fb? Linda Fitriesti, PR Trans7, mengatakan, di situs itu dia bisa melihat foto, ekspresi, dan mengetahui aktivitas teman-temannya. ”Biasanya, gue akan memberikan komentar-komentar gokil. Kalau mereka membalas, gue senang banget. Rasanya, gue eksis,” ujarnya, Rabu, sambil tertawa.

Di situs ini Anda memang bisa melihat dan dilihat orang, mengetahui dan diketahui orang, mengomentari dan dikomentari orang tanpa ada yang melarang. Hasrat narsistik setiap orang pun benar-benar bisa terlampiaskan. Tengoklah foto-foto seperti apa yang dipasang pengguna fb. Kalau bukan foto keluarga dan teman-teman lama, mereka hampir pasti menyisipkan foto nampang di luar negeri atau pada momen-momen spesial.

Karena itu, momen seperti Axis Jakarta International Java Jazz Festival 2009, yang bertabur bintang luar negeri dan harga tiketnya selangit bagi kebanyakan orang, menjadi amat penting bagi sebagian pengguna fb. Ketika Matt Bianco tampil di ajang ini pekan lalu, seorang perempuan penonton memotret dirinya menggunakan Blackberry dengan latar belakang aksi grup jazz kaliber dunia itu.

Setelah selesai, saat itu juga dia langsung mentransfer foto itu ke dinding fb-nya. Kepada teman di sebelahnya dia berkata, ”Gue kasih komentar, ’Gue nonton Matt Bianco, bo!’”

Tengok pula pesan-pesan yang ditulis di dinding fb. Hampir semuanya masalah remeh-temeh. Putri (26), ibu rumah tangga di Ciputat, misalnya, menulis pesan yang isinya sekadar mengabarkan bahwa dia sedang deg-degan menunggu apakah adonan kue donatnya akan mengembang atau bantat. Di Aceh, Mahdi mengabarkan, dirinya sedang menghangatkan makanan kiriman ibunya. Di Bekasi, Herry mengabarkan sedang minum kopi.

Pesan Herry itu dikomentari seorang teman: ”Busyet, pagi-pagi udah ngopi. Kopinya apaan?” ”Mau tau aja lu,” balas Herry.

Namun, banyak pula status yang serius dan berbau propaganda. Haris Rusli, seorang aktivis, menulis, ”Gulingkan SBY....” Dan seorang teman berkomentar, ”Setelah gulingkan SBY, lalu gulingkan aku dong....”

Haris belingsatan. ”Wah, aku gak kenal tuh cewek, bisa bahaya,” kata Haris yang belum lama menikah ini. Ia pun buru-buru menghapus nama cewek itu dari daftar temannya.

Komunikasi baru

Begitulah. Seremeh-temeh apa pun yang dibicarakan orang di fb, situs ini terbukti sukses menjadi media komunikasi baru yang sanggup merajut relasi sosial. Proses terbentuknya jaring sosial dan persahabatan di fb berlangsung cepat. Di fb, orang tak hanya mencari, tetapi juga dicari.

Hal ini dirasakan Esther (44). Tiga bulan lalu, karyawan swasta ini belum tahu alamat teman-teman lamanya. Setelah bergabung di fb, tiba-tiba saja teman-teman SMA, SMP, SD, bahkan TK-nya bermunculan.

”Saya nyaris tak percaya. Sekarang saya tahu mereka lagi ngapain aja,” katanya. Esther dan teman-teman SMA yang terpisah sejak 25 tahun lalu itu pun menggelar reuni di Jakarta pekan lalu. Sabtu kemarin giliran dia dan teman-teman SMP-nya menggelar reuni.

”Saya sedang ngumpulin teman-teman SD untuk reunian. Kalau perlu, teman TK juga, ha-ha-ha,” ujarnya, riang.

Umar Ibnu (39), dosen warga Ende, Nusa Tenggara Timur, mulanya enggan bergabung dengan fb. Koneksi internet di daerahnya sering kacau dan hanya ada lima warung internet di kotanya. Namun, atas saran teman, ia pun mendaftar. ”Asyik juga, ternyata banyak yang mencari-cari saya. Sekarang, saya tak sabar untuk membuka fb di kantor. Maklum, gak ada internet di rumah,” katanya.

Tidak semua kisah tentang fb menyenangkan. Tengok pengalaman Adhi (33), seorang manajer perusahaan konstruksi di Jakarta, akhirnya memutuskan menutup fb-nya karena menjadi pangkal percekcokan dengan sang pacar. ”Awalnya menyenangkan, tetapi lama-lama menjadi pangkal masalah. Dia cemburu kalau saya menyapa teman-teman cewek saya, saya juga gak terima dia berakrab-akrab dengan teman cowoknya,” ujar Adhi.

Menurut dia, yang paling sering menjadi pangkal masalah adalah tulisan di dinding atau komentar terhadap status. ”Orang sering tidak sadar bahwa tulisan di dinding atau komentar itu bisa dibaca semua orang, jadi kalau dia menyapa teman cowoknya dengan panggilan mesra, teman-teman saya suka berpikir tidak enak,” tuturnya.

Akhirnya, ia dan pacarnya sepakat untuk sama-sama menutup fb. ”Manfaatnya tidak signifikan. Toh sebelum ini saya juga bisa hidup tanpa fb,” tukasnya.

Jadi, fb hanyalah sebuah sarana, pahami aturan mainnya. Dan jangan lupa untuk tetap menyapa orang di dunia nyata. (Dahono Fitrianto/Susi Ivvaty)

Sumber: Budi Suwarna, kompas cetak (Minggu, 15/03/2009)

Ancaman Krisis Finansial Asia

Siapa sangka emerging economies Asia yang sebelumnya diyakini relatif akan mampu bertahan dari dampak krisis keuangan dan ekonomi Amerika Serikat ternyata kini berpotensi menjadi pesakitan baru dengan kejatuhan ekonomi yang jauh lebih dalam dari yang dialami AS sebagai episenter dari krisis keuangan dan krisis ekonomi global.

Beberapa bulan lalu, orang masih bicara probabilitas resesi di negara-negara maju dan meyakini ekonomi global akan mulai pulih tahun 2010, diawali dengan pemulihan ekonomi Asia pada triwulan IV-2009. Kini seluruh negara maju sudah resesi dengan pertumbuhan triwulan IV-2008 untuk AS minus 0,8 persen, Inggris minus 1,2 persen, Uni Eropa minus 1,8 persen, dan Kanada minus 7 persen.

Orang baru melihat decoupling perekonomian emerging economies Asia hanya mitos setelah pertumbuhan ekonomi China melambat secara mengejutkan pada triwulan IV menjadi hanya 6,8 persen, dari sebelumnya 8 persen. Pada saat bersamaan, seluruh perekonomian negara industri baru yang disebut Macan Asia juga mengalami kontraksi ekonomi. Singapura, Korea Selatan, Hongkong, dan Taiwan mencatat pertumbuhan negatif, masing-masing minus 4,2 persen, minus 3,4 persen, minus 2,5 persen, dan minus 8,4 persen.

Berbagai lembaga dan pemerintah pun beramai-ramai merevisi ke bawah prediksi pertumbuhan ekonomi, dengan perkiraan terakhir ekonomi global 2009 menurut IMF hanya akan tumbuh 0,5 persen. ASEAN juga mengalami perlambatan ekonomi yang serius. Malaysia hanya tumbuh 0,2 persen (dibandingkan tahun sebelumnya/yoy) dan Thailand tumbuh negatif 4,3 persen.

Ketergantungan yang sangat tinggi (rata-rata 37 persen untuk seluruh negara berkembang Asia) pada ekspor dituding berada di balik keterpurukan Asia ini. China yang ekspornya menyumbang 40 persen dari PDB dan tahun lalu menggusur AS sebagai eksportir terbesar dunia mengalami pertumbuhan ekspor negatif selama tiga bulan berturut-turut (November-Januari), dengan ekspor Januari turun 17,5 persen dari setahun sebelumnya.

Akibatnya, lebih dari 20 juta pekerja migran kehilangan pekerjaan, yang angkanya bisa membengkak lagi menjadi 50 juta jika ekonomi terus memburuk. Impor bahkan anjlok 43,1 persen (yoy), menyusul penurunan Desember sebesar 21,3 persen (yoy).

Ekspor Korsel—perekonomian keempat terbesar Asia— anjlok 32,8 persen Januari 2009 (yoy). Ekspor India juga turun 24 persen, mengakibatkan lebih dari 1 juta pekerja kehilangan pekerjaan. Taiwan yang merupakan perekonomian keenam terbesar Asia mencatat kejatuhan ekspor hingga 44,1 persen pada Januari 2009 (yoy), dengan impor juga turun 56,5 persen. Kondisi ini sangat memukul Taiwan yang 70 persen PDB-nya disumbangkan oleh ekspor.

Penurunan produksi industri Taiwan sebesar 32 persen sekarang ini jauh lebih besar daripada yang dialami AS pada era Depresi Besar 1930-an. Hal serupa dialami Hongkong yang ekspornya menyumbang 166 persen PDB.

Asia Tenggara sama saja. IMF memprediksikan Filipina hanya tumbuh 2,25 persen tahun ini, turun dari 4,6 persen 2008 dan 7,1 persen 2007, akibat anjloknya ekspor. Malaysia juga mencatat penurunan ekspor 14,9 persen, dengan ekspor ke AS turun 30 persen, ini mengakibatkan perekonomian negara itu diperkirakan hanya akan tumbuh 1-1,5 persen tahun ini, jauh di bawah target pemerintah yang 3,5 persen. Singapura sebagai trade hub dan financial hub Asia, yang ekspornya menyumbang sampai 186 persen PDB, juga mengalami penurunan ekspor hingga 20 persen, terburuk sejak negara itu berdiri.

Ekspor Indonesia sendiri diperkirakan akan mengalami penurunan hingga 20 persen tahun ini, memicu prediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini di bawah 4 persen.

Permintaan kawasan

Terpuruknya ekonomi Asia ini membuat sebagian kalangan mulai mempertanyakan ketangguhan strategi pertumbuhan yang didorong ekspor (export-led) yang selama beberapa dekade terakhir menjadi faktor penting penopang pertumbuhan ekonomi tinggi Asia yang mencapai rata-rata di atas 7 persen per tahun.

Beberapa kalangan, seperti diangkat dalam laporan The Economist, mulai melemparkan pandangan mengenai perlunya Asia menggerakkan mesin pertumbuhan baru di luar ekspor, dengan lebih mengandalkan pada permintaan domestik, khususnya konsumsi.

Pandangan ini terutama dilatari kenyataan keterpurukan begitu dalam ekonomi Asia, bukan semata diakibatkan oleh menurunnya impor dari negara maju, seperti AS, Uni Eropa, atau Jepang, tetapi juga diperparah oleh lumpuhnya permintaan di kawasan Asia sendiri.

Semula diyakini, ekonomi Asia akan terselamatkan dari dampak krisis karena keterpurukan permintaan dari negara maju diperkirakan akan bisa dikompensasi oleh perdagangan intrakawasan yang beberapa tahun terakhir semakin berperan penting dalam sumbangan terhadap total ekspor Asia.

Namun, hal itu tak terjadi. Yang terjadi, permintaan dari kawasan anjlok lebih dalam daripada permintaan dari negara maju. Impor China dari Asia, misalnya, anjlok hingga 30 persen. Ekspor Korea ke China turun sampai 46,4 persen pada Januari 2009, menyusul penurunan 33 persen pada Desember 2008. Menurut Jong Wha-Lee dari Bank Pembangunan Asia (ADB), selama ini orang tak melihat bahwa 60 persen permintaan akhir produk ekspor Asia masih datang dari negara maju Amerika Utara, Eropa, dan Jepang.

Krisis finansial

Sebelumnya, banyak kalangan, termasuk mantan pimpinan Bank Sentral AS (Federal Reserve) Alan Greenspan dan Direktur Pelaksana IMF Rodrigo Rato yakin krisis seperti krisis finansial 1997/1998 tak akan terjadi di Asia, terutama dengan kuatnya cadangan devisa, solidnya sektor keuangan dan perbankan, serta fundamental makroekonomi Asia.

Namun, dengan memburuknya resesi ekonomi global, fundamental makroekonomi, keuangan dan sektor riil juga mulai terongrong. Sejumlah kalangan, termasuk ekonom Bank Dunia Andrew Burns, bahkan mengingatkan, kemungkinan negara-negara Asia dihadapkan pada kondisi seperti krisis finansial 1997/ 1998 dengan berkepanjangannya resesi di negara-negara maju.

Salah satu yang sedang ditunggu-tunggu sekarang ini adalah laporan kinerja sektor korporasi terbaru, yang antara lain akan tecermin pada laporan keuangan untuk perusahaan publik. Di Indonesia, laporan teraudit 2008 akan keluar Maret ini. Namun, dari laporan tiga bulanan terakhir (September 2008) yang keluar November lalu, sedikit banyak sudah ada gambaran mengenai kondisi sektor korporasi hingga pertengahan tahun 2008.

Ada kekhawatiran, memburuknya kinerja sektor korporasi ini bisa merembet ke sektor perbankan, seperti pada kasus krisis finansial 1997/1998, mengingat karena pembiayaan usaha masih didominasi perbankan. Meski masih dalam batas wajar, gejala peningkatan kredit bermasalah perbankan (NPL) sudah terjadi, dengan NPL Januari 2009 meningkat menjadi 4,24 persen, dari bulan sebelumnya 4 persen.

Kesulitan perbankan mulai terlihat di sejumlah negara Asia Timur. Di China, Fitch melaporkan, melonjaknya kerugian operasional perbankan dengan kerugian akibat kredit bermasalah meningkat di atas 6 persen akhir tahun ini.

Di Indonesia, dampak krisis juga mulai menampakkan wajahnya pada memburuknya kinerja operasional bank, tecermin dari kerugian operasional perbankan yang mencapai Rp 301 miliar pada Januari 2009. Kerugian operasional ini, menurut Bank Indonesia, antara lain dipicu seretnya penyaluran kredit, meningkatnya pencadangan kredit bermasalah, dan tergerusnya margin bunga bersih (Kompas, 12/3).

Yang juga harus diwaspadai adalah Korsel yang perbankan dan stabilitas moneternya juga terancam oleh tingginya utang jangka pendek yang jatuh tempo dalam waktu dekat. Sekitar 194 miliar dollar AS utang luar negeri Korsel akan jatuh tempo tahun ini. Dalam artikel berjudul ”Domino Theory” 26 Februari lalu, harian Financial Times mengingatkan kemungkinan Korsel gagal bayar dan kesulitan me-roll over utang tersebut kendati hal ini dibantah Kementerian Strategi dan Keuangan Korsel.

Kekhawatiran mengenai utang Korsel ini, ditambah lagi memburuknya makroekonomi dan keuangan di sebagian besar negara Asia, bisa menempatkan Korsel dan negara-negara Asia lain sebagai target empuk sentimen negatif dan spekulasi yang dipicu oleh hilangnya kepercayaan pasar seperti sebelum krisis 1997/1998. Kalau sampai terjadi, dampak penularan (contagious)-nya akan sangat sulit dibendung, se- perti pada krisis finansial 1997/1998.

Ada beberapa alasan untuk khawatir bahwa negara-negara di kawasan (Asia), terlepas dari kondisi mereka yang jauh lebih kuat (dibandingkan krisis 1997/1998), kemungkinan akan mengalami kesulitan. Sekarang ini kita belum melihat itu terjadi. Tetapi, akhirnya yang menentukan adalah bagaimana respons perdagangan dalam beberapa bulan ke depan. Kalau itu terus mengalami kontraksi seperti sekarang, situasinya akan sangat sulit buat Asia, terutama negara-negara yang industrialisasinya sudah lebih maju,” ujar Burns.

sumber: kompas cetak (13/03/09)

term of reference stop money politics

TERM OF REFERENCE

Latar Belakang
Kepentingan pragmatis partai politik untuk meraup suara dalam waktu singkat memunculkan
beragam upaya untuk merebut simpati generasi muda yang tidak peduli kepada politik dan
masyarakat pada umumnya dalam hal ini proyeksi perubahan masyarakat. Amanah konstitusi menegaskan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar, artinya rakyat memiliki kedaulatan, tanggungjawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis paling kurang dalam dua hal yaitu memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh komponen masyarakat, kedua untuk memilih wakil rakyat yang akan ditugasi mengawal dan mengawasi jalannya pemerintahan.
Cara perwujudan kedaulatan tersebut, adalah melalui pemilihan umum secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan ditugasi menjalankan fungsi pengawasan, menyalurkan aspirasi politik masyarakat, membuat undang-undang, serta
merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi di atas. Target utama ialah “Kesejahteraan Rakyat”. Di sisi lain, pemilu DPR, DPD, DPRD Prov dan DPRD Kab/Kota dengan Azas LUBER dan JURDIL di setiap lima tahun sekali, dilaksanakan dengan menjamin prinsip keterwakilan, yang memberikan jaminan setiap warga terjamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan. Dengan azas langsung, rakyat sebagai pemilih memiliki hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai keinginannya, tanpa perantara. Azas umum menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga tanpa diskriminasi. Penyelenggaraan pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil memberikan dampak positif dalam penguatan demokrasi baik di tingkat lokal maupun nasional. Masyarakat diberikan hak suara untuk memilih calon, maupun partai politik yang mereka nilai akan mampu memperjuangkan aspirasinya apabila nantinya terpilih dalam pemilu. Pemilih dituntut cerdas untuk bisa memilih dan menilai dengan baik dan cermat siapa wakil rakyat yang “Pantas” dan bisa memperjuangkan aspirasinya. Hal ini dapat diartikan bahwa pemilih haruslah mempunyai pengetahuan yang baik mengenai hak dan kewajibannya dalam pemilu sehingga tumbuh suatu kesadaran yang tinggi akan pentingnya keikutsertaan dalam pemilu. Meningkatnya kesadaran dan keikutsertaan atau partisipasi politik publik serta pengetahuan yang baik dalam pemilu akan dapat mewujudkan suatu pemilihan umum yang berkualitas. Olehnya itu, kami sadar dalam hal ini bahwa partisipasi masyarakat sangat kita butuhkan untuk menyukseskan Pemilihan Umum dengan pahaman sebagai sandaran nilai demokrasi. Semoga kegiatan ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang tentunya kita memiliki target utama yaitu kesejahteraan rakyat dengan menjadi bagian dari perubahan itu sendiri.

Hidup Rakyat!!!

Permasalahan
Dari rangkaian wacana dan realitas yang kami dapatkan maka dengan ini tersusun beberapa
permasalahan, antara lain sebagai berikut :
1. Banyaknya masyarakat yang kurang paham akan Pemilihan Cerdas
2. Akan munculnya politik praktis
3. Kurangnya partisipasi masyarakat dalam mendukung pemilihan umum
4. Akan munculnya broken of ....society terhadap dampak pemilu

Maksud dan Tujuan
Adapaun maksud dan tujuan kegiatan ini adalah :
1. Memberikan gambaran kepada masyarakat Kab. Maros pada umumnya tentang
partisipasi politik dengan menjadi pemilih cerdas
2. Mensosialisasikan kepada pihak-pihak yang terlibat secara langsung pada proses pemilu
tentang pentingnya menjaga demokrasi pada tatanan masyarakat Kab. Maros
3. Mempertegas kepada semua pihak untuk tidak terlibat pada politik praktis.
4. Menjadikan spirit perubahan nilai sosial pada masyarakat Kab. Maros

Tema
Adapun tema kegiatan ini adalah “ Pemilih Cerdas, Memilih dengan Hati”

Sasaran
Adapun sasaran kegiatan ini adalah masyarakat umum dan stakeholders Kab. Maros

Penyelenggara
Alumni Smansa Maros 2k3