Tuesday, March 17, 2009

Ribuan Puskesmas di Daerah Terpencil Tak Ada Dokter


Pelayanan kesehatan di daerah terpencil, daerah perbatasan, dan pulau-pulau terluar sulit dilakukan pemerintah. Dalam kondisi demikian, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan yayasan keagamaan di sejumlah daerah, diam-diam memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat. Namun demikian, masih banyak daerah terpencil yang puskesmasnya dibangun, dokter tidak ada. Ribuan puskesmas tidak memiliki tenaga dokter.

Pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan, perlu dan penting membuat grand design tentang pelayanan kesehatan di daerah terpencil, daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar. Saatnya sekarang dilakukan survey kebutuhan berdasarkan keunikan masing-masing daerah.
Demikian antara lain benang merah yang mengemuka pada seminar Peranan LSM dan Yayasan Keagamaan dalam Pelayanan Kesehatan di Daerah Terpencil, yang digelar Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (17 /3) di Jakarta.

Tampil sebagai narasumber dr Dasdo Antonius Sinaga dari Yakkum Emergency Unit; Elvi S Siahaan dari MAP International; dr Dwi Handono S Mkes dari Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan FK UGM; Prof dr Laksono Trisnantoro MSc PhD, Direktur Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan FK UGM, dan drg Kartini Rustandi MKes dari Subdit Daerah Tertinggal, Perbatasan, dan Kepulauan Direktorat Bina Kesehatan Komunitas, Depkes.
Dasdo Antonius Sinaga mengungkapkan pengalamannya memberikan pelayanan yang memuaskan bagi semua pihak di Kecamatan Gunung Sitoli, Sirombu, dan Kecamatan Lahewa, di Nias, Provinsi Sumatera Utara.

"Masyarakat mengalami kesulitan pelayanan kesehatan di puskesmas, karena keberadaan dokter umum hanya ada satu atau dua orang per kecamatan. Dokter gigi tidak ada, dan banyak persoalan lain seperti infrastruktur, ketersediaan obat (jenis dan jumlah) dan insentif," katanya.
Yakkum Emergency Unit memberikan pelayanan di Nias pascagempa dan tsunami tahun 2004. Visi yang diusung, jelas Dasdo, adalah bagaimana masyarakat yang terkena dampak bencana mendapatkan hak untuk hidup bermartabat dan berkesinambungan.

Elvi S Siahaan dari Nias melalui pembicaraan telepon mengatakan, MAP International sejak 2005 sampai sekarang memberikan pelayanan kesehatan di 15 desa di pulau Batu, Tello dan pulau-pulau sekitarnya di Nias Selatan. MAP Internastional sampai membangun Rumah Sakit Tello yang diserahkanterimakan tahun 2008. Sedangkan untuk menjangkau daerah-daerah terjauh antarpulau, perjalanan 3-6 jam, ada kapal Tello Mobile Clinic.

"MAP International sudah berkomitmen bantu puskesmas, karena kondisinya di Nias, sumberdaya manusianya terbatas dan terkendala transportasi," katanya.
Elvi menjelaskan, karena faktor kemiskinan dan terbatasnya kemampuan finansial masyarakat, selama ini si sakit baru dibawa berobat setelah pasien dalam kondisi sangat buruk. Naik kapal saja Rp 100 ribu per orang, belum lagi harus bayar penginapan, dan kebutuhan lainnya. Untuk memberikan pelayanan kesehatan dan sekaligus meringankan beban masyarakat, MAP memiliki Tello Mobile Clinic.

Sedangkan Dwi Handono memaparkan pengalaman gagalnya mencari kontraktor pelayanan kesehatan di daerah terpencil di Kabupaten Berau. "Karena tidak adanya kontraktror yang memenuhi syarat untuk pengadaan SDM dan penyelenggaraan pelayanan, dan pengadaan sarana dan prasarana, anggaran APBD tahun 2008 senilai Rp 970 juta tidak jadi terpakai," ungkapnya.

Tidak Adil

Laksono Trisnantoro menjelaskan, digelarnya seminar karena ada fakta dan data yang menarik yang harus dicarikan jawabannya. Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan di daerah terpencil sulit dilakukan oleh pemerintah. Kontrak bidan dan dokter perorangan belum dapat memberikan jawaban tentang penyelesaian masalah daerah terpencil ini.

Laporan dari Pusrengun (Anna Kurniati, 2007) menyebutkan, 30 persen dari 7.500 puskesmas di daerah terpencil tidak mempunyai tenaga dokter. Survey yang dilakukan Pusrengun di 78 kabupaten di 17 provinsi di indonesia menemukan hal menarik.

Dari 1.165 puskesmas di daerah tersebut, 364 puskesmas (31 persen) buruk situasinya. Sekitar 50 persen dari 364 puskesmas dilaporkan tidak mempunyai dokter, 18 persen tanpa perawat, 12 persen tanpa bidan, 42 persen tanpa tenaga sanitarian, dan 64 persen tanpa tenaga ahli gizi.
Dibandingkan dengan daerah biasa, gambaran ini sangat buruk. Sebagai contoh, di daerah biasa hanya 5 persen puskesmas tanpa dokter. Dalam hal tenaga spesialis juga terlihat ketimpangan. Menurut data KKI (2007), DKI Jakarta mempunyai 2.890 spesialis ( 23,92 persen), Jawa Timur 1.980 spesialis (16,39 persen), Jawa Barat 1.881 (15,57 persen). Sementara itu di Sumatera Barat hanya 167 spesialis (1,38 persen), paparnya.

Menurut Laksono, ketidaktersediaan tenaga medik dan kesehatan ini menjadi semakin berat implikasinya karena adanya Jaminan Kesehatan Masyarakat. Ketimpangan penyebaran spesialis ini merupakan hal yang tidak adil, terutama dalam kontek s kebijakan nasional yang menggunakan pembayaran penuh untuk masyarakat miskin.

Di daerah yang jarang dokter spesialisnya, masyarakat miskin atau setengah miskin akan kesulitan mendapatkan akses ke pelayanan medik. Sebaliknya di tempat yang banyak dokternya, akan sangat mudah. Akibatnya dana pusat untuk masyarakat miskin dikhawatirkan terpakai lebih banyak di kota-kota besar dan di pulau Jawa.

Kartini Rustandi dalam paparannya menuju indonesia Sehat 2010, mengakui adanya kesenjangan pelayanan kesehatan antarwilayah, khususnya di daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan. Ke depan akan ditingkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, karena status kesehatan masyarakat masih rendah. Diusahakan setiap desa ada SDM yang berkompeten. Setiap puskesmas bisa terjangkau dan dijangkau masyarakat, katanya.
Sumber : Kompas (17/03/2009)








No comments: