Sunday, March 22, 2009

Membongkar Mitos Perempuan


Alkisah, empat perempuan tua sedang berdebat, bagaimana sebaiknya istri menempatkan suami? ”Istri itu harus manut sama suami,” ujar salah seorang perempuan. ”Tidak,” kata yang lain, ”suami itu harus disanding, dijinjing, dan kalau perlu ditanting."

Saat asyik ngobrol, keempatnya tiba-tiba sadar. Ternyata, para suami mereka justru sedang dikuasai perempuan muda ayu bernama Geyong Kanthil. Mereka pun segera berkomplot untuk menaklukkannya.

Itu salah satu potongan adegan pentas ”Gathik Glindhing” di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat-Sabtu, 20-21 Maret 2009. Lakon dimainkan Sahita, kelompok teater-tari asal Surakarta beranggotakan lima perempuan: Wahyu Widayati, Sri Lestari, Sri Setyoasih, Atik Kenconosari, dan Ira Kusumorasri.

Apakah keempat perempuan tua itu menang? Ternyata tidak. Dengan kecantikannya, perempuan muda berhasil menyingkirkan generasi tua. Adegan terakhir, si Geyong merokok dengan asap mengepul, sedangkan orang-orang tua itu terkapar di sekelilingnya.

”Itu sindiran, betapa nafsu kekuasaan bisa merusak kebersamaan. Itu harus dihindari,” kata Wahyu Widayati, sutradara dan koreografer Sahita yang biasa disapa Inonk.

Pentas Sahita digelar untuk menyambut Hari Perempuan Sedunia 8 Maret serta Hari Kartini 21 April. Maklum, kelompok yang berdiri tahun 2001 itu memang lekat dengan perempuan. Dalam setiap pentas, bangunan cerita cenderung hanya jadi sampiran untuk menggali berbagai persoalan perempuan secara kritis-menghibur. Lakon ini pun merangkum fragmen-fragmen problem perempuan saat berhadapan dengan laki-laki.

Pada lakon kali ini, Sahita tampak hendak berubah. Mereka memasukkan wacana pemberdayaan perempuan sembari mengulik isu-isu politik aktual. Tutur kata Jawa dicampur bahasa Indonesia, juga menyelipkan puisi lirih Gunawan Maryanto. Sayang, pergeseran itu belum tergarap optimal sehingga sebagian bangunan pertunjukan malah mengendur.

Itu berbeda dengan lakon-lakon sebelumnya, katakanlah seperti ”Iber-iber Tledhek Barangan”, ”Srimpi Srimpet”, atau ”Pangkur Brujul”. Lakon-lakon lama itu memperlihatkan ekspresi penari-perempuan Jawa yang kampungan, urakan, segar, dan enteng mengutak-atik segala hal. Seluruh tontonan terajut cair lewat permainan bahasa Jawa yang asyik.

Membongkar

Dengan segala kekurangannya, Sahita–yang berarti ’kebersamaan’—tetap kukuh sebagai kelompok teater perempuan. Penampilannya masih identik dengan perlawanan terhadap dominasi laki-laki, termasuk citra kecantikan. Mereka menolak konvensi perempuan penari harus tampil cantik, seksi, dan molek. Itu terlihat dari usia mereka yang rata-rata di atas 40 tahun dengan bentuk tubuh yang mulai membesar.

”Kami ini ibu rumah tangga, wis elek lan tuwa (sudah jelek dan tua), kecuali Sri Lestari atau Cempluk yang baru 30-an,” ujar Inonk.

Pada pentas ”Gathik Glindhing”, kelompok ini juga menggunakan identitas orang desa dengan dandanan khas kelas bawah—kecuali Ira Kusumorasri, pemeran si Geyong Kanthil yang masih langsing dan ayu. Bagi mereka, patriarki adalah kekuatan dominasi atas dasar relasi kuasa yang tidak seimbang, entah antara laki-laki dan perempuan maupun antarperempuan, yang berbeda kelas dan usia.

Saat menari, mereka bebas bergoyang erotik ala ledek atau komikal seraya memelesetkan pakem tari gambyong-gleyongan, tayub, atau banyumasan. Bahasanya tak jarang vulgar, bahkan mengolok-olok simbol seksualitas—sesuatu yang mungkin berada di luar gambaran para pembela Undang-Undang Antipornografi.

Meski Inonk mengatakan Sahita hanya ingin ”membumikan tari Jawa”, jelas sekali kelompok ini telah membalik mitos perempuan yang lingkupnya cuma sumur, dapur, dan tempat tidur. Pentas mereka mencerminkan bangunan imajinasi alternatif stereotip jender.

Di panggung, menurut anggota Sahita, Sri Setyoasih, mereka menemukan ruang berekspresi atas dasar pengalaman perempuan. Dengan pengalaman teatrikal itu, mereka menciptakan ruang untuk merayakan kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih berani dan jujur.

sumber: kompas cetak (22/03/09)

No comments: