Sunday, March 15, 2009

Ancaman Krisis Finansial Asia

Siapa sangka emerging economies Asia yang sebelumnya diyakini relatif akan mampu bertahan dari dampak krisis keuangan dan ekonomi Amerika Serikat ternyata kini berpotensi menjadi pesakitan baru dengan kejatuhan ekonomi yang jauh lebih dalam dari yang dialami AS sebagai episenter dari krisis keuangan dan krisis ekonomi global.

Beberapa bulan lalu, orang masih bicara probabilitas resesi di negara-negara maju dan meyakini ekonomi global akan mulai pulih tahun 2010, diawali dengan pemulihan ekonomi Asia pada triwulan IV-2009. Kini seluruh negara maju sudah resesi dengan pertumbuhan triwulan IV-2008 untuk AS minus 0,8 persen, Inggris minus 1,2 persen, Uni Eropa minus 1,8 persen, dan Kanada minus 7 persen.

Orang baru melihat decoupling perekonomian emerging economies Asia hanya mitos setelah pertumbuhan ekonomi China melambat secara mengejutkan pada triwulan IV menjadi hanya 6,8 persen, dari sebelumnya 8 persen. Pada saat bersamaan, seluruh perekonomian negara industri baru yang disebut Macan Asia juga mengalami kontraksi ekonomi. Singapura, Korea Selatan, Hongkong, dan Taiwan mencatat pertumbuhan negatif, masing-masing minus 4,2 persen, minus 3,4 persen, minus 2,5 persen, dan minus 8,4 persen.

Berbagai lembaga dan pemerintah pun beramai-ramai merevisi ke bawah prediksi pertumbuhan ekonomi, dengan perkiraan terakhir ekonomi global 2009 menurut IMF hanya akan tumbuh 0,5 persen. ASEAN juga mengalami perlambatan ekonomi yang serius. Malaysia hanya tumbuh 0,2 persen (dibandingkan tahun sebelumnya/yoy) dan Thailand tumbuh negatif 4,3 persen.

Ketergantungan yang sangat tinggi (rata-rata 37 persen untuk seluruh negara berkembang Asia) pada ekspor dituding berada di balik keterpurukan Asia ini. China yang ekspornya menyumbang 40 persen dari PDB dan tahun lalu menggusur AS sebagai eksportir terbesar dunia mengalami pertumbuhan ekspor negatif selama tiga bulan berturut-turut (November-Januari), dengan ekspor Januari turun 17,5 persen dari setahun sebelumnya.

Akibatnya, lebih dari 20 juta pekerja migran kehilangan pekerjaan, yang angkanya bisa membengkak lagi menjadi 50 juta jika ekonomi terus memburuk. Impor bahkan anjlok 43,1 persen (yoy), menyusul penurunan Desember sebesar 21,3 persen (yoy).

Ekspor Korsel—perekonomian keempat terbesar Asia— anjlok 32,8 persen Januari 2009 (yoy). Ekspor India juga turun 24 persen, mengakibatkan lebih dari 1 juta pekerja kehilangan pekerjaan. Taiwan yang merupakan perekonomian keenam terbesar Asia mencatat kejatuhan ekspor hingga 44,1 persen pada Januari 2009 (yoy), dengan impor juga turun 56,5 persen. Kondisi ini sangat memukul Taiwan yang 70 persen PDB-nya disumbangkan oleh ekspor.

Penurunan produksi industri Taiwan sebesar 32 persen sekarang ini jauh lebih besar daripada yang dialami AS pada era Depresi Besar 1930-an. Hal serupa dialami Hongkong yang ekspornya menyumbang 166 persen PDB.

Asia Tenggara sama saja. IMF memprediksikan Filipina hanya tumbuh 2,25 persen tahun ini, turun dari 4,6 persen 2008 dan 7,1 persen 2007, akibat anjloknya ekspor. Malaysia juga mencatat penurunan ekspor 14,9 persen, dengan ekspor ke AS turun 30 persen, ini mengakibatkan perekonomian negara itu diperkirakan hanya akan tumbuh 1-1,5 persen tahun ini, jauh di bawah target pemerintah yang 3,5 persen. Singapura sebagai trade hub dan financial hub Asia, yang ekspornya menyumbang sampai 186 persen PDB, juga mengalami penurunan ekspor hingga 20 persen, terburuk sejak negara itu berdiri.

Ekspor Indonesia sendiri diperkirakan akan mengalami penurunan hingga 20 persen tahun ini, memicu prediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini di bawah 4 persen.

Permintaan kawasan

Terpuruknya ekonomi Asia ini membuat sebagian kalangan mulai mempertanyakan ketangguhan strategi pertumbuhan yang didorong ekspor (export-led) yang selama beberapa dekade terakhir menjadi faktor penting penopang pertumbuhan ekonomi tinggi Asia yang mencapai rata-rata di atas 7 persen per tahun.

Beberapa kalangan, seperti diangkat dalam laporan The Economist, mulai melemparkan pandangan mengenai perlunya Asia menggerakkan mesin pertumbuhan baru di luar ekspor, dengan lebih mengandalkan pada permintaan domestik, khususnya konsumsi.

Pandangan ini terutama dilatari kenyataan keterpurukan begitu dalam ekonomi Asia, bukan semata diakibatkan oleh menurunnya impor dari negara maju, seperti AS, Uni Eropa, atau Jepang, tetapi juga diperparah oleh lumpuhnya permintaan di kawasan Asia sendiri.

Semula diyakini, ekonomi Asia akan terselamatkan dari dampak krisis karena keterpurukan permintaan dari negara maju diperkirakan akan bisa dikompensasi oleh perdagangan intrakawasan yang beberapa tahun terakhir semakin berperan penting dalam sumbangan terhadap total ekspor Asia.

Namun, hal itu tak terjadi. Yang terjadi, permintaan dari kawasan anjlok lebih dalam daripada permintaan dari negara maju. Impor China dari Asia, misalnya, anjlok hingga 30 persen. Ekspor Korea ke China turun sampai 46,4 persen pada Januari 2009, menyusul penurunan 33 persen pada Desember 2008. Menurut Jong Wha-Lee dari Bank Pembangunan Asia (ADB), selama ini orang tak melihat bahwa 60 persen permintaan akhir produk ekspor Asia masih datang dari negara maju Amerika Utara, Eropa, dan Jepang.

Krisis finansial

Sebelumnya, banyak kalangan, termasuk mantan pimpinan Bank Sentral AS (Federal Reserve) Alan Greenspan dan Direktur Pelaksana IMF Rodrigo Rato yakin krisis seperti krisis finansial 1997/1998 tak akan terjadi di Asia, terutama dengan kuatnya cadangan devisa, solidnya sektor keuangan dan perbankan, serta fundamental makroekonomi Asia.

Namun, dengan memburuknya resesi ekonomi global, fundamental makroekonomi, keuangan dan sektor riil juga mulai terongrong. Sejumlah kalangan, termasuk ekonom Bank Dunia Andrew Burns, bahkan mengingatkan, kemungkinan negara-negara Asia dihadapkan pada kondisi seperti krisis finansial 1997/ 1998 dengan berkepanjangannya resesi di negara-negara maju.

Salah satu yang sedang ditunggu-tunggu sekarang ini adalah laporan kinerja sektor korporasi terbaru, yang antara lain akan tecermin pada laporan keuangan untuk perusahaan publik. Di Indonesia, laporan teraudit 2008 akan keluar Maret ini. Namun, dari laporan tiga bulanan terakhir (September 2008) yang keluar November lalu, sedikit banyak sudah ada gambaran mengenai kondisi sektor korporasi hingga pertengahan tahun 2008.

Ada kekhawatiran, memburuknya kinerja sektor korporasi ini bisa merembet ke sektor perbankan, seperti pada kasus krisis finansial 1997/1998, mengingat karena pembiayaan usaha masih didominasi perbankan. Meski masih dalam batas wajar, gejala peningkatan kredit bermasalah perbankan (NPL) sudah terjadi, dengan NPL Januari 2009 meningkat menjadi 4,24 persen, dari bulan sebelumnya 4 persen.

Kesulitan perbankan mulai terlihat di sejumlah negara Asia Timur. Di China, Fitch melaporkan, melonjaknya kerugian operasional perbankan dengan kerugian akibat kredit bermasalah meningkat di atas 6 persen akhir tahun ini.

Di Indonesia, dampak krisis juga mulai menampakkan wajahnya pada memburuknya kinerja operasional bank, tecermin dari kerugian operasional perbankan yang mencapai Rp 301 miliar pada Januari 2009. Kerugian operasional ini, menurut Bank Indonesia, antara lain dipicu seretnya penyaluran kredit, meningkatnya pencadangan kredit bermasalah, dan tergerusnya margin bunga bersih (Kompas, 12/3).

Yang juga harus diwaspadai adalah Korsel yang perbankan dan stabilitas moneternya juga terancam oleh tingginya utang jangka pendek yang jatuh tempo dalam waktu dekat. Sekitar 194 miliar dollar AS utang luar negeri Korsel akan jatuh tempo tahun ini. Dalam artikel berjudul ”Domino Theory” 26 Februari lalu, harian Financial Times mengingatkan kemungkinan Korsel gagal bayar dan kesulitan me-roll over utang tersebut kendati hal ini dibantah Kementerian Strategi dan Keuangan Korsel.

Kekhawatiran mengenai utang Korsel ini, ditambah lagi memburuknya makroekonomi dan keuangan di sebagian besar negara Asia, bisa menempatkan Korsel dan negara-negara Asia lain sebagai target empuk sentimen negatif dan spekulasi yang dipicu oleh hilangnya kepercayaan pasar seperti sebelum krisis 1997/1998. Kalau sampai terjadi, dampak penularan (contagious)-nya akan sangat sulit dibendung, se- perti pada krisis finansial 1997/1998.

Ada beberapa alasan untuk khawatir bahwa negara-negara di kawasan (Asia), terlepas dari kondisi mereka yang jauh lebih kuat (dibandingkan krisis 1997/1998), kemungkinan akan mengalami kesulitan. Sekarang ini kita belum melihat itu terjadi. Tetapi, akhirnya yang menentukan adalah bagaimana respons perdagangan dalam beberapa bulan ke depan. Kalau itu terus mengalami kontraksi seperti sekarang, situasinya akan sangat sulit buat Asia, terutama negara-negara yang industrialisasinya sudah lebih maju,” ujar Burns.

sumber: kompas cetak (13/03/09)

No comments: