Beberapa bulan lalu, orang masih bicara probabilitas resesi di negara-negara maju dan meyakini ekonomi global akan mulai pulih tahun 2010, diawali dengan pemulihan ekonomi
Orang baru melihat
Berbagai lembaga dan pemerintah pun beramai-ramai merevisi ke bawah prediksi pertumbuhan ekonomi, dengan perkiraan terakhir ekonomi global 2009 menurut IMF hanya akan tumbuh 0,5 persen. ASEAN juga mengalami perlambatan ekonomi yang serius.
Ketergantungan yang sangat tinggi (rata-rata 37 persen untuk seluruh negara berkembang Asia) pada ekspor dituding berada di balik keterpurukan
Akibatnya, lebih dari 20 juta pekerja migran kehilangan pekerjaan, yang angkanya bisa membengkak lagi menjadi 50 juta jika ekonomi terus memburuk. Impor bahkan anjlok 43,1 persen (yoy), menyusul penurunan Desember sebesar 21,3 persen (yoy).
Ekspor Korsel—perekonomian keempat terbesar
Penurunan produksi industri Taiwan sebesar 32 persen sekarang ini jauh lebih besar daripada yang dialami AS pada era Depresi Besar 1930-an. Hal serupa dialami Hongkong yang ekspornya menyumbang 166 persen PDB.
Asia Tenggara sama saja. IMF memprediksikan Filipina hanya tumbuh 2,25 persen tahun ini, turun dari 4,6 persen 2008 dan 7,1 persen 2007, akibat anjloknya ekspor. Malaysia juga mencatat penurunan ekspor 14,9 persen, dengan ekspor ke AS turun 30 persen, ini mengakibatkan perekonomian negara itu diperkirakan hanya akan tumbuh 1-1,5 persen tahun ini, jauh di bawah target pemerintah yang 3,5 persen. Singapura sebagai
Ekspor Indonesia sendiri diperkirakan akan mengalami penurunan hingga 20 persen tahun ini, memicu prediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini di bawah 4 persen.
Terpuruknya ekonomi Asia ini membuat sebagian kalangan mulai mempertanyakan ketangguhan strategi pertumbuhan yang didorong ekspor (
Beberapa kalangan, seperti diangkat dalam laporan
Pandangan ini terutama dilatari kenyataan keterpurukan begitu dalam ekonomi Asia, bukan semata diakibatkan oleh menurunnya impor dari negara maju, seperti AS, Uni Eropa, atau Jepang, tetapi juga diperparah oleh lumpuhnya permintaan di kawasan Asia sendiri.
Semula diyakini, ekonomi Asia akan terselamatkan dari dampak krisis karena keterpurukan permintaan dari negara maju diperkirakan akan bisa dikompensasi oleh perdagangan intrakawasan yang beberapa tahun terakhir semakin berperan penting dalam sumbangan terhadap total ekspor Asia.
Namun, hal itu tak terjadi. Yang terjadi, permintaan dari kawasan anjlok lebih dalam daripada permintaan dari negara maju. Impor China dari Asia, misalnya, anjlok hingga 30 persen. Ekspor Korea ke China turun sampai 46,4 persen pada Januari 2009, menyusul penurunan 33 persen pada Desember 2008. Menurut Jong Wha-Lee dari Bank Pembangunan Asia (ADB), selama ini orang tak melihat bahwa 60 persen permintaan akhir produk ekspor Asia masih datang dari negara maju Amerika Utara, Eropa, dan Jepang.
Sebelumnya, banyak kalangan, termasuk mantan pimpinan Bank Sentral AS (Federal Reserve) Alan Greenspan dan Direktur Pelaksana IMF Rodrigo Rato yakin krisis seperti krisis finansial 1997/1998 tak akan terjadi di Asia, terutama dengan kuatnya cadangan devisa, solidnya sektor keuangan dan perbankan, serta fundamental makroekonomi Asia.
Namun, dengan memburuknya resesi ekonomi global, fundamental makroekonomi, keuangan dan sektor riil juga mulai terongrong. Sejumlah kalangan, termasuk ekonom Bank Dunia Andrew Burns, bahkan mengingatkan, kemungkinan negara-negara Asia dihadapkan pada kondisi seperti krisis finansial 1997/ 1998 dengan berkepanjangannya resesi di negara-negara maju.
Salah satu yang sedang ditunggu-tunggu sekarang ini adalah laporan kinerja sektor korporasi terbaru, yang antara lain akan tecermin pada laporan keuangan untuk perusahaan publik. Di Indonesia, laporan teraudit 2008 akan keluar Maret ini. Namun, dari laporan tiga bulanan terakhir (September 2008) yang keluar November lalu, sedikit banyak sudah ada gambaran mengenai kondisi sektor korporasi hingga pertengahan tahun 2008.
Ada kekhawatiran, memburuknya kinerja sektor korporasi ini bisa merembet ke sektor perbankan, seperti pada kasus krisis finansial 1997/1998, mengingat karena pembiayaan usaha masih didominasi perbankan. Meski masih dalam batas wajar, gejala peningkatan kredit bermasalah perbankan (NPL) sudah terjadi, dengan NPL Januari 2009 meningkat menjadi 4,24 persen, dari bulan sebelumnya 4 persen.
Kesulitan perbankan mulai terlihat di sejumlah negara Asia Timur. Di China, Fitch melaporkan, melonjaknya kerugian operasional perbankan dengan kerugian akibat kredit bermasalah meningkat di atas 6 persen akhir tahun ini.
Di Indonesia, dampak krisis juga mulai menampakkan wajahnya pada memburuknya kinerja operasional bank, tecermin dari kerugian operasional perbankan yang mencapai Rp 301 miliar pada Januari 2009. Kerugian operasional ini, menurut Bank Indonesia, antara lain dipicu seretnya penyaluran kredit, meningkatnya pencadangan kredit bermasalah, dan tergerusnya margin bunga bersih (
Yang juga harus diwaspadai adalah Korsel yang perbankan dan stabilitas moneternya juga terancam oleh tingginya utang jangka pendek yang jatuh tempo dalam waktu dekat. Sekitar 194 miliar dollar AS utang luar negeri Korsel akan jatuh tempo tahun ini. Dalam artikel berjudul ”Domino Theory” 26 Februari lalu, harian
Kekhawatiran mengenai utang Korsel ini, ditambah lagi memburuknya makroekonomi dan keuangan di sebagian besar negara Asia, bisa menempatkan Korsel dan negara-negara Asia lain sebagai target empuk sentimen negatif dan spekulasi yang dipicu oleh hilangnya kepercayaan pasar seperti sebelum krisis 1997/1998. Kalau sampai terjadi, dampak penularan (
”
sumber: kompas cetak (13/03/09)
No comments:
Post a Comment